Egomasing-masing individu yang tidak dikendalikan secara tepat dapat menimbulkan konflik dengan individu lainnya, seperti pertengkaran antar siswa di sekolah, misalnya. Karakter seseorang dibentuk dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, sedangkan tidak semua masyarakat memiliki kebiasaan, nilai-nilai dan norma-norma sosial yang sama.
ï»żMBMahasiswa/Alumni Universitas Muria Kudus07 Juli 2022 0140Jawaban yang benar adalah lingkungan fisik yang tidak kondusif. Yuk simak pembahasan berikut. Konflik sosial adalah pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Seringkali konflik yang terjadi di masyarakat mengarah pada tindak kekerasan yaitu menimbulkan luka kepada pihak lain baik secara fisik maupun psikis. Berdasarkan teori lingkungan sosial, kekerasan atau kekacauan disebabkan karena berawal dari lingkungan fisik yang tidak kondusif. Dengan demikian, jawaban yang tepat adalah lingkungan fisik yang tidak akses pembahasan gratismu habisDapatkan akses pembahasan sepuasnya tanpa batas dan bebas iklan! Berdasarkanteori lingkungan sosial, kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila a. agresivitas individu dan golongan dalam menghadapi sebuah permasalahan b. tidak tercapainya kekerabatan sosial yang harmonis antarindividu c. lingkungan fisik yang tidak kondusif d. jumlah anggota sebuah golongan terlalu banyak Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Miris, Indonesia darurat kekerasan seksual pada anak, khususnya yang terjadi di lingkungan sekolah. Dilansir dari Federasi Serikat Guru Indonesia mencatat sepanjang tahun 2023 telah terjadi 22 kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah, dengan korban sebanyak 202 orang anak. Sehingga FSGI menyimpulkan, setiap minggu ada satu orang anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual ini juga beragam, mulai dari guru, kepala sekolah, bahkan pegawai administrasi sekolah. Pemberitaan terkait kasus kekerasan seksual pada anak di lingkungan sekolah juga kerap kali berseliweran di media massa, sehingga menimbulkan kekhawatiran di masyarakat terutama wali dari ada tiga kasus kekerasan yang terjadi baru-baru ini. Pertama, terjadi pada anak berumur 15 tahun di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, anak tersebut mengaku sudah berhubungan seksual dengan 11 orang yang merupakan guru dan aparat kepolisian. Kedua, kasus serupa juga terjadi di Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara, seorang kepala madrasah tega memperkosa sembilan orang siswanya. Ketiga, kasus yang paling parah terjadi di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, seorang guru nekat melakukan pelecehan seksual di depan kelas dan disaksikan oleh murid-murid lainnya. Hal ini terjadi dengan modus memberikan hukuman agar memberikan efek jera kepada siswa tersebut. Berdasarkan keterangan yang didapat sejauh ini, ada 12 siswa dan 4 diantaranya merupakan anak laki-laki menjadi korban kekerasan seksual oleh oknum guru tersebut. Tiga kasus kekerasan seksual pada anak di atas merupakan gambaran konkret, bahwa fungsi sekolah sebagai pengendali sosial di masyarakat mulai melemah. Fungsi sekolah sebagai pengendali sosial mulai melemah atau dapat dikatakan sudah melemah karena para pelaku kekerasan seksual di sekolah juga merupakan individu hasil pendidikan di sekolah. Sehingga secara langsung pelaku kekerasan seksual tersebut merupakan representatif dari pendidikan yang didapatkannya dahulu. Sekali lagi penulis tekankan, meskipun hanya beberapa individu yang pernah mengenyam pendidikan merupakan pelaku kekerasan seksual ini, akan tetapi hal tersebut pastilah akan menimbulkan stigma negatif pada masyarakat bahwa sekolah dan pendidikan di Indonesia tidak seratus persen menghasilkan individu yang berakhlak dan mematuhi norma-norma juga nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat, serta menganggap sekolah bukan lagi tempat yang ramah bagi anak. Kepercayaan masyarakat sudah terlanjur dirusak oleh oknum guru atau civitas academica yang menjadi pelaku kekerasan seksual pada anak di lingkungan sekolah. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan ramah bagi anak-anak, dengan bebasnya anak-anak tersebut dapat belajar dan tumbuh tanpa takut menjadi korban kekerasan seksual atau ancaman serupa. Kekerasan seksual di sekolah adalah pelanggaran serius terhadap hak-hak anak dan tidak boleh ditoleransi dalam lingkungan pendidikan. Akan tetapi, sebagai masyarakat yang cerdas ada baiknya untuk tidak terlalu cepat menghakimi guru, civitas academica, ataupun sistem pendidikan di Indonesia secara umum yang dianggap tidak mampu mencegah kekerasan seksual pada anak terjadi. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis mencoba memaparkan penyebab-penyebab kekerasan seksual melalui kacamata sosiologi pendidikan, sehingga baik masyarakat dan sekolah bisa mengkoreksi celahnya masing-masing. Berdasarkan sosiologi pendidikan, masyarakat dan sekolah saling terkait dan berinteraksi dalam membentuk pendidikan sebagai institusi sosial Abdullah, 2011. Maka, apa yang terjadi di masyarakat juga pasti akan mempengaruhi sekolah dan begitu pula sebaliknya. Untuk menelaah penyebab-penyebab kekerasan seksual pada anak, penulis menggunakan teori anomie sebagai kerangka berpikir. Teori anomie dalam disiplin ilmu sosiologi telah dikembangkan oleh beberapa ahli yang berbeda, salah satunya ialah Emile Durkheim atau lebih dikenal sebagai bapak sosiologi merupakan pemikir awal yang memperkenalkan konsep teori anomie. Menurutnya, anomie terjadi ketika individu merasa kehilangan panduan atau norma yang jelas dalam masyarakat. Anomie dapat muncul karena perubahan sosial yang cepat dan kurangnya integrasi sosial yang memadai Soekanto, 1987. Teori anomie dalam disiplin ilmu sosiologi memberikan pemahaman tentang bagaimana kurangnya norma atau ketidaksesuaian antara tujuan dan peluang dapat mempengaruhi perilaku individu dan menyebabkan konsekuensi sosial yang tidak diinginkan yaitu dalam hal ini ialah kekerasan seksual pada anak. Berdasarkan teori tersebut, penulis menilai bahwa modernisasi dan globalisasi lah yang merupakan penyebab kekerasan seksual pada anak terjadi. Modernisasi diibaratkan sebagai pisau yang bisa digunakan untuk melukai dan bisa juga digunakan untuk memberikan manfaat, tergantung pada siapa yang menggunakannya. Modernisasi dengan segala kemajuan dan kecanggihan teknologi yang dihasilkannya membawa dampak yang luas dan cepat kepada masyarakat. Akibat dari modernisasi, hampir semua lapisan masyarakat termasuk guru dan peserta didik mendapatkan akses yang mudah dan hampir tidak memiliki batasan terhadap segala macam informasi, baik positif maupun negatif. Hampir semua lapisan masyarakat juga memiliki gadget seperti telepon genggam yang terhubung dengan internet. Hal ini merupakan hal lumrah di era revolusi industri bahwa gadget dan internet merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat modern. Melalui gadget dan internet inilah semua akses informasi didapatkan dengan mudah, termasuk akses terhadap konten-konten pornografi. Meskipun pornografi merupakan salah satu faktor yang mendorong pelaku kekerasan seksual untuk melakukan aksinya, akan tetapi hal ini tetap saja merupakan hal yang perlu diwaspadai. Paparan konten-konten pornografi merupakan hal berbahaya yang mampu meracuni pikiran para generasi penerus bangsa termasuk guru dan peserta didik. Unsur-unsur konten berbau pornografi atau secara terang-terangan menampilkan pornografi bertebaran di berbagai media, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi pikiran seseorang untuk melakukan kekerasan secara singkat dapat dipahami sebagai proses hilangnya batas antarnegara di seluruh dunia. Perkembangan teknologi yang dibawa oleh proses modernisasi jugalah yang memfasilitasi percepatan globalisasi ini. Internet, gadget dan media sosial menjadi sarana utama untuk berkomunikasi dan pertukaran data secara instan antar individu di berbagai belahan dunia. Dampak globalisasi yang paling nyata terlihat adalah pertukaran budaya. Pengaruh budaya asing dapat terlihat dalam bentuk makanan, mode, musik, film, dan gaya hidup. Salah satu kebudayaan yang paling terasa pengaruhnya melalui globalisasi, ialah budaya Barat. Budaya Barat telah banyak mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat Indonesia. Salah satunya ialah mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai masyarakat Indonesia dalam menjaga hubungan antara laki-laki dan perempuan, dalam hal ini ialah mereka yang belum menikah. Budaya Barat umumnya menerima konsep pasangan atau kekasih sebelum pernikahan, atau lebih sering dikenal dengan istilah "pacaran". Kebebasan seksual terhadap lawan jenis yang belum menikah pun dianggap hal biasa dalam budaya Barat. Konsep inilah yang saat ini sering dijumpai dalam masyarakat modern Indonesia. Norma-norma dan nilai-nilai sosial asli kebudayaan Indonesia mulai tergerus akibat globalisasi. Dengan bangganya pemuda-pemudi berdua-duaan tanpa batas, padahal belum terikat dalam pernikahan yang sah secara agama dan negara. Konsep hubungan bebas antar lawan jenis ini secara tidak langsung juga menjadi penyebab kekerasan seksual. Kesimpulannya, modernisasi dan globalisasi mendorong perubahan norma dan nilai sosial di masyarakat yang pada akhirnya menyebabkan kekerasan seksual pada anak terjadi. Modernisasi dengan segala kemajuan teknologinya menyediakan kemudahan akses terhadap segala macam informasi, termasuk konten pornografi yang merusak pikiran generasi penerus bangsa. Begitu pula dengan globalisasi yang memperkenalkan budaya Barat terutama tentang konsep "pacaran" sehingga pada akhirnya, secara luas dikenal dan menjadi gaya hidup para pemuda dan pemudi bangsa ini. Pornografi dan budaya "pacaran" yang ada pada masyarakat secara langsung juga mempengaruhi guru, peserta didik, ataupun secara umum semua yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah karena juga merupakan bagian dari masyarakat. Menurut teori anomie, paparan pornografi dan budaya "pacaran" ini menciptakan ketidaksesuaian dengan nilai-nilai dan norma-norma asli Indonesia. sehingga berakibat pada kekacauan nilai dan norma, dimana individu menghadapi ketidakpastian tentang apa yang dianggap benar atau salah dalam hubungan seksual dan perilaku terkait. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan Indonesia dalam hal ini telah dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma asing yang tidak sejalan dengan kebudayaan asli Indonesia. Pengaruh tersebut menyebabkan konsep pendidikan asli Indonesia tidak diterapkan secara tegas dan dominan, sehingga melemahnya fungsi sekolah sebagai pengendali sosial berakibat pada munculnya perilaku menyimpang di masyarakat, salah satunya ialah maraknya kasus kekerasan seksual pada anak. Melalui tulisan ini juga, penulis menyadari bahwa untuk mengetahui penyebab-penyebab kekerasan seksual terutama pada anak, memerlukan kajian kompleks yang tidak bisa dilihat hanya dari satu perspektif disiplin ilmu. Akan tetapi, hal ini perlu terus dikaji demi kenyamanan proses pendidikan yang berimplikasi bagi kemajuan Indonesia. Oleh karena itu diperlukan dukungan dan kesadaran dari semua pihak, yaitu pemerintah, sekolah, masyarakat dan keluarga untuk menemukan solusi yang efektif dalam menangani permasalahan Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta Rajawali 1 2 Lihat Pendidikan Selengkapnya

Berdasarkanteori lingkungan sosial, kekerasan atau kekacauan disebabkan karena berawal dari lingkungan fisik yang tidak kondusif. Di mana apabila lingkungan sosial tempat individu atau kelompok masyarakat berada tidak kondusif, bisa menjadi pendorong terjadinya kekerasan. Misalnya seperti terjadi konflik yang berkepanjangan.

Teori lingkungan sosial menyatakan bahwa kerusuhan berawal dari lingkungan fisik yang tidak kondusif. Apabila lingkungan sosial 22. Berdasarkan teori lingkungan sosial, kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila...a. agresivitas individu dan kelompok dalam menghadapi suatu permasalahanb. tidak tercapainya hubungan sosial yang serasi antarindividuc. lingkungan fisik yang tidak kondusifd. jumlah anggota suatu kelompok terlalu banyake. kekecewaan yang mendalam dari para anggotanyaJawaban C1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50Teori lingkungan sosial menyatakan bahwa kerusuhan berawal dari lingkungan fisik yang tidak kondusif. Apabila lingkungan sosial tempat individu atau kelompok masyarakat berada tidak kondusif, bisa menjadi pendorong terjadinya ekonomi adalah lingkungan manusia dalam hubungan dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Lingkungan sosial budaya adalah segala kondisi, baik berupa materi benda maupun non materi yang dihasilkan oleh manusia mellui aktifitas dan kreativitasnya.
Berdasarkanteori lingkungan sosial, kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila * - 50198848 Berdasarkan teori lingkungan sosial, kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila * mnursyahuda8750 menunggu jawabanmu. Bantu jawab dan dapatkan poin. Pertanyaan baru di Sosiologi. Mahasiswa/Alumni Universitas Negeri Jakarta22 Juni 2022 0252Jawabannya adalah apabila lingkungan fisik yang tidak kondusif. Yuk, simak pembahasan berikut ! Konflik sosial merupakan suatu proses sosial yang terjadi antara individu maupun kelompok dengan pihak lain yang saling menjatuhkan untuk mencapai tujuan masing-masing. Seringkali konflik yang terjadi di masyarakat mengarah pada tindak kekerasan yaitu menimbulkan luka kepada pihak lain baik secara fisik maupun psikis. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadi kekerasan dalam masyarakat. Berdasarkan teori lingkungan sosial, kekerasan atau kekacauan disebabkan karena berawal dari lingkungan fisik yang tidak kondusif. Dimana apabila lingkungan sosial tempat individu atau kelompok masyarakat berada tidak kondusif, bisa menjadi pendorong terjadinya kekerasan. Misalnya seperti terjadi konflik yang berkepanjangan.
menurutteori lingkungan sosial,kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila .. a.kurangnya sarana fisik yang tersedia di masyarakat suatu kelompok yang terlaru banyak c.Agresivitas individu dan kelompok menghadapi suatu permasalahan d.kekecewaan yang mendalam dari para anggotanya e.tidak terciupta hubungan sosial yang serasi antar individu
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Handri Ayu Diah Mustika & Ahmad Gimmy Program Studi Magister Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran. Dewasa ini marak diberitakan terjadinya kekerasan seksual di berbagai daerah di Indonesia. Angka pelaporan kasus kekerasan seksual juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan CATAHU 2023 terjadi peningkatan pengaduan kepada Komnas Perempuan terkait kekerasan berbasis gender, dari kasus pada 2021 menjadi kasus pada 2022. Rinciannya yaitu kasus kekerasan di ranah personal, kasus di ranah publik, dan 68 kasus di ranah negara Komnas Perempuan, 2023. Kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat diintegralkan seperti fenomena gunung es. Masalah perlindungan dan pelaporan kasus kekerasan seksual yang ditangani dan didukung hanya terlihat sedikit pada permukaan saja sedangkan masih banyak kasus yang tidak terlaporkan. Hal ini menyebabkan penyintas kekerasan seksual tidak mendapatkan penanganan yang optimal sebagaimana sejalan dengan catatan tahunan yang digaungkan oleh Komnas Perempuan pada Maret 2023 lalu dengan tajuk "Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara Minim Perlindungan dan Pemulihan". Penyintas kekerasan seksual di Indonesia cenderung bungkam karena rasa malu, tekanan sosial, ancaman dari pelaku, relasi kuasa, dan ketidak tahuan untuk melapor Trihastuti & Nuqul, 2020. Korban juga cenderung memilih menghindari konflik atau konsekuensi yang akan muncul dengan melaporkan kasus secara hukum Artaria, 2012. Selain itu, tidak mengetahui alur pelaporan kasus dan perlindungan hukum juga berpengaruh pada pertimbangan untuk melaporkan kasus Fisher, Cullen & Turner., 2000. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia membuat tindak pidana kekerasan seksual menjadi fokus pembahasan terkait penyelesaian perkara, baik di tingkat peradilan maupun dalam proses pemulihan kembali pihak yang menjadi korban. Pemulihan yang dimaksud adalah jaminan dalam segi fisik, mental, dan faktor lain dari dampak kekerasan seksual yang dialami oleh korban. Tindak pidana kekerasan seksual khususnya pemerkosaan diatur dalam pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang berbunyi "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun".Adapun dampak yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual bukan hanya dalam aspek fisik melainkan juga dampak psikologis yang mana korban berpotensi mengalami depresi, stress, serta trauma yang berpeluang berlangsung dalam waktu lama, dan semakin memburuk apabila tidak segera ditangani Tangahu, 2015. Sedangkan dalam aspek hukum pidana, formulasi bentuk tindakan kekerasan seksual membawa konsekuensi yuridis di dalam pembuktiannya. Korban sebagai pihak yang dirugikan juga memiliki peran sebagai saksi yang sangat dibutuhkan hakim untuk menilai kesalahan pelaku dalam proses pembuktian perkara dalam kondisi korban mengalami tekanan psikologis akibat dari peristiwa traumatis yang dialaminya. Oleh karena itu dibutuhkan investigasi pakar psikolog forensic untuk memeriksa dengan saksama sebagai bahan penyidikan baik dalam kepolisian maupun persidangan. Hal tersebut diperkuat dengan jelas oleh Fulero dan Wrightsman 2009 yang memandang psikologi forensik sebagai pengaplikasian dari teori, metode, dan penelitian psikologi yang berusaha diimplementasikan dalam sistem hukum. Psikologi forensik juga merupakan usaha pemanfaatan layanan psikologi terintegrasi dengan sistem hukum untuk menjamin adanya rasa keadilan sesuai dengan undang-undang yang sudah ditetapkan. Sistem hukum yang dimaksud mencakup tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembelaan vonis, eksekusi vonis hingga upaya prevensi, dan rehabilitasi. Maka dari itu peran psikolog forensik dirasa penting dalam proses tindak pidana kekerasan seksual. Semakin banyak permasalahan di masyarakat yang menuntut peran psikologi forensik untuk memberikan sumbangan penyelesaian di satu pihak, sedangkan pada pihak lain pengembangan psikologi forensik dirasa masih lambat di Indonesia. Meskipun memiliki peran yang sangat penting tetapi ruang gerak psikolog forensik sendiri masih sangat terbatas. Ketua APSIFOR, Dra. Reni Kusumawardani, Psikolog, mengatakan bahwa jumlah anggota asosiasi psikolog forensik juga masih sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah kasus kriminalitas hukum yang terjadi di Indonesia. Selain itu psikolog forensik tidak memiliki kewenangan untuk terjun langsung dalam menangani kasus apabila tidak diundang oleh aparat hukum yang berwenang. Peran psikolog forensik dalam penegakan hukum juga masih dianggap belum maksimal Sopyani & Edwina, 2021. Maka dari itu optimalisasi peran psikolog forensik dalam penanganan kasus hukum tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia dinilai sangat dibutuhkan untuk menjawab kekhawatiran yang ada di masyarakat mengingat perannya yang sangat penting dalam upaya perlindungan, penanganan, pendampingan, dan pemulihan korban kekerasan seksual. 1 2 Lihat Humaniora Selengkapnya Berdasarkanteori lingkungan sosial , kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila A. Kekecewaan yang mendalam dari para anggotanya B. Jumlah anggota suatu kelompok terlalu banyak C. Agresivitas individu dan kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan D. Tidak terciptanya hubungan sosial yang serasi dan anatar individu Istilah kekerasan berasal dari bahasa Latin ’violentus’, yang berarti keganasan, kebengisan, kadahsyatan, kegarangan, aniaya, dan pemerkosaan Fromm,2000. Tindak kekerasan, menunjuk kepada tindakan yang dapat merugikan orang lain, misalnya pembunuhan, penjarahan, pemukulan, dan lain-lain. Soerjono Soekanto 2002 98, mengartikan kekerasan violence sebagai penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Selain penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, kekerasan juga bisa berupa ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak Narwoko dan Suyanto, 200070. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa tindak kekerasan merupakan perilaku sengaja maupun tidak sengaja yang ditunjukan untuk merusak orang atau kelompok lain, baik berupa serangan fisik, mental, sosial, maupun ekonomi yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat sehingga berdampak pada kerusakan hingga trauma psikologis bagi Bentuk-Bentuk KekerasanKekerasan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tindak kekerasan seolah-olah telah melekat dalam diri seseorang guna mencapai tujuan hidupnya. Tidak mengherankan, jika semakin hari kekerasan semakin meningkat dalam berbagai macam dan bentuk. Galtung 1996 203 mencoba menjawab dengan membagi tipologi kekerasan menjadi 3 tiga, yaitu1 Kekerasan Langsung. Kekerasan langsung biasanya berupa kekerasan fisik, disebut juga sebagai sebuah peristiwa event dari terjadinya kekerasan. Kekerasan langsung terwujud dalam perilaku, misalnya pembunuhan, pemukulan, intimidasi, penyiksaan. Kekerasan langsung merupakan tanggungjawab individu, dalam arti individu yang melakukan tindak kekerasan akan mendapat hukuman menurut ketentuan hukum Kekerasan Struktural kekerasan yang melembaga. Disebut juga sebuah proses dari terjadinya kekerasan. Kekerasan struktural terwujud dalam konteks, sistem, dan struktur, misalnya diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan. Kekerasan struktural merupakan bentuk tanggungjawab negara, dimana tanggung jawab adalah mengimplementasikan ketentuan konvensi melalui upaya merumuskan kebijakan, melakukan tindakan melakukan pengaturan, melakukan pengelolaan dan melakukan pengawasan. Muaranya ada pada sistem hukum pidana yang Kekerasan Kultural. Kekerasan kultural merupakan suatu bentuk kekerasan permanen. Terwujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, misalnya kebencian, ketakutan, rasisme, intoleran, aspek-aspek budaya, ranah simbolik yang ditunjukkan oleh agama dan ideologi, bahasa dan seni, serta ilmu pengetahuan. Beberapa ahli menyebut tipe kekerasan seperti ini sebagai kekerasan pandangan Bourdieu Martono, 2009 kekerasan struktural dan kultural dapat dikategorikan sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik adalah mekanisme komunikasi yang ditandai dengan relasi kekuasaan yang timpang dan hegemonik di mana pihak yang satu memandang diri lebih superior entah dari segi moral, ras, etnis, agama ataupun jenis kelamin dan usia. Tiap tindak kekerasan pada dasarnya mengandaikan hubungan dan atau komunikasi yang sewenang-wenang di antara dua pihak. Dalam hal kekerasan simbolik hubungan tersebut berkaitan dengan pencitraan pihak lain yang bias, monopoli makna, dan pemaksaan makna entah secara tekstual, visual, warna Contoh sebutan ”hitam” bagi kelompok kulit hitam, sebutan ”bodoh” bagi siswa yang tidak naik kelas, atau sebutan ”miskin” untuk menunjuk orang tidak mampu secara ekonomi, dan dilihat berdasarkan pelakunya, kekerasan juga dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu kekerasan individual dan kekerasan kolektif. Kekerasan individual, adalah kekerasan yang dilakukan oleh individu kepada satu atau lebih individu. Contoh pencurian, pemukulan, penganiayaan, dan lain-lain. Sedangkan kekerasan kolektif, merupakan kekerasan yang dilakukan oleh banyak individu atau massa. Contoh tawuran pelajar, bentrokan antar desa. Kekerasan kolektif dapat disebabkan oleh larutnya individu dalam kerumunan, sehingga seseorang menjadi tidak lagi memiliki kesadaran individual atau hilang rasionalitas. Kerusuhan sepak bola mungkin contoh yang tepat untuk kekerasan yang satu ini. Selain juga “penghakiman massa” terhadap pencuri atau pelaku kejahatan jalanan. Klasifikasi lain dikemukakan oleh Sejiwa 2008 20, yang membagi bentuk kekerasan ke dalam dua jenis, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan non-fisik. Kekerasan fisik yaitu jenis kekerasan yang kasat mata. Artinya, siapapun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya. Contohnya adalah menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, dan sebagainya. Sedangkan kekerasan non fisik yaitu jenis kekerasan yang tidak kasat mata. Artinya, tidak bisa langsung diketahui perilakunya apabila tidak jeli memperhatikan, karena tidak terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan non fisik ini dibagi menjadi dua, yaitu kekerasan verbal dan kekerasan psikis. Kekerasan verbal kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata. Contoh membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memfitnah, menyebar gosip, menuduh, menolak dengan kata-kata kasar, mempermalukan di depan umum dengan lisan, dan lain-lain. Sementara itu kekerasan psikologis/psikis merupakan kekerasan yang dilakukan lewat bahasa tubuh. Contoh memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan, mendiamkan, mengucilkan, memandang yang merendahkan, mencibir dan Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Tindak KekerasanBanyaknya tindak kekerasan yang terjadi di masyarakat menimbulkan rasa keprihatinan yag mendalam dalam diri anggota masyarakat. Setiap kekerasan yang terjadi, tidak sekedar muncul begitu saja tanpa sebab-sebab yang mendorongnya. Oleh karena itu, para ahli sosial berusaha mencari penyebab terjadinya kekerasan dalam rangka menemukan solusi tepat mengurangi Thomas Hobbes, kekerasan merupakan sesuatu yang alamiah dalam diri manusia. Dia percaya bahwa manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional, anarkis, saling iri, serta benci sehingga menjadi jahat, buas, kasar dan berpikir pendek. Hobbes mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia homo homini lupus. Oleh karena itu, kekerasan adalah sifat alami manusia. Dalam ketatanegaraan, sikap kekerasan digunakan untuk menjadikan warga takut dan tunduk kepada pemerintah. Bahkan Hobbes berprinsip bahwa hanya suatu pemerintahan negara yang menggunakan kekerasan terpusat dan memiliki kekuatanlah yang dapat mengedalikan situasi dan kondisi J. J. Rosseau mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia itu polos, mencintai diri secara spontan, serta tidak egois. Peradaban serta kebudayaanlah yang menjadikan manusia kehilangan sifat aslinya. Manusia menjadi kasar dan kejam terhadap orang lain. Dengan kata lain kekerasan yang dilakukan bukan merupakan sifat murni dari kedua tokoh tersebut, ada beberapa faktor yang dapat memicu timbulnya kekerasan, yaitu sebagai berikut 1 Faktor Individual Beberapa ahli berpendapat bahwa setiap perilaku kelompok, termasuk perilaku kekerasan, selalu berawal dari perilaku individu. Faktor penyebab dari perilaku kekerasan adalah faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi meliputi kelainan jiwa. Faktor yang bersifat sosial antara lain konflik rumah tangga, faktor budaya dan faktor media Faktor Kelompok. Individu cenderung membentuk kelompok dengan mengedepankan identitas berdasarkan persamaan ras, agama atau etnik. Identitas kelompok inilah yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Benturan antara identitas kelompok yang berbeda sering menjadi penyebab Faktor Dinamika Kelompok. Menurut teori ini, kekerasan timbul karena adanya deprivasi relatif yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat. Artinya, perubahan-perubahan sosial yang terjadi demikian cepat dalam sebuah masyarakat tidak mampu ditanggap dengan seimbang oleh sistem sosial dan masyarakatnya. Dalam konteks ini munculnya kekerasan dapat terjadi oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut a Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kekerasan yang disebabkan oleh struktur sosial Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan ini tidak cukup menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi juga menjadi pendorong terjadinya Berkembangnya perasaan kebencian yang meluas terhadap suatusasaran tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa yang memicu Mobilisasi untuk beraksi, yaitu tindakan nyata berupa pengorganisasi diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan terjadinya Kontrol sosial, yaitu tindakan pihak ketiga seperti aparat keamanan untuk mengendalikan, menghambat, dan mengakhiri kekerasan akan berdampak negatif seperti kerugian baik material maupun nonmaterial. Menghentikan kekerasan tentu tidak dapat dilakukan hanya oleh beberapa pihak. Pemerintah sebagai pemilik kekuasaan dalam negara memang selayaknya menjadi pemimpin dalam upaya menghentikan kekerasan. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa kekerasan bukan solusi untuk sebuah permasalahan, tetapi menciptakan permasalahan baru. Pemerintah juga perlu memberikan contoh dan bukti nyata bahwa kekerasan tidak layak untuk dilakukan di sebuah negara merdeka dan demokratis. Di sisi lain, masyarakat juga harus melakukan fungsi pencegahan untuk lebih peduli terhadap ketenteraman lingkungan menuju kehidupan sosial yang damai dan modul belajar mandiri pppk ips sosiologi Pembelajaran 4. Konflik Sosial dan Integrasi Sosial , kemdikbud
Beberapacontoh tindak kejahatan adalah pencurian, perampokan, korupsi, pembunuhan, penculikan, dan yang lainnya, dimana tindakan ini sangat bertentangan dengan norma hukum. Adanya masalah sosial ini erat kaitannya dengan masih adanya masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan, hingga kesenjangan sosial ekonomi.
Ilustrasi Bacaan tentang Teori Kekerasan. Sumber DigitalTeori Kekerasan merupakan salah satu teori yang terdapat dalam pembahasan ilmu sosial, khususnya sosiologi. Layaknya sebuah teori dalam ilmu sosial, Teori Kekerasan pun merupakan teori yang menjelaskan tentang fenomena khusus, Teori Kekerasan ini menjelaskan dan mengkaji tentang faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan. Bagaimana isi dari Teori Kekerasan dalam ilmu sosial? Simak uraian lengkapnya di bawah Teori Kekerasan dalam Ilmu SosialIlustrasi Mempelajari Teori Kekerasan dalam Ilmu Sosial. Sumber membahas tentang Teori Kekerasan, artinya kita membahas teori-teori yang menjelaskan tentang kekerasan. Jadi, Teori Kekerasan itu terdiri dari banyak dari sekian banyak Teori Kekerasan yang ada adalah Teori Faktor Individual, Teori Faktor Kelompok, dan Teori Dinamika Kelompok. Masing-masing teori tersebut menjelaskan penyebab kekerasan berdasarkan faktor individual, faktor kelompok, dan dinamika adalah penjelasan lengkap mengenai tiga Teori Kekerasan yang mengutip dari buku berjudul Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XI karya Maryati dan Juju 2007 63 – 64.1. Teori Faktor IndividualBeberapa ahli berpendapat bahwa setiap perilaku kelompok, termasuk perilaku kekerasan, selalu berawal dari perilaku perilaku seseorang dapat menyebabkan timbulnya kekerasan, baik yang dilakukan oleh individu secara sendirian maupun bersama orang penjelasan tersebut, kita dapat memahami bahwa Teori Faktor Individual menjelaskan bahwa perilaku kekerasan berawal dari perilaku individu. Perilaku individu yang agresif dapat menimbulkan kekerasan, baik secara spontan maupun dengan Teori Faktor KelompokBeberapa ahli lain mengemukakan pandangan bahwa individu cenderung membentuk kelompok dengan mengedepankan identitas berdasarkan persamaan ras, agama, atau kelompok inilah yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan orang yang lain. Menurut teori ini, kekerasan dapat terjadi akibat benturan antara identitas kelompok yang Teori Faktor Kelompok memiliki pandangan bahwa kekerasan merupakan akibat dari adanya benturan antara kelompok yang memiliki identitas berbeda atau Teori Dinamika KelompokTeori Dinamika Kelompok memiliki anggapan bahwa kekerasan timbul karena adanya kehilangan rasa memiliki deprivasi relatif yang terjadi dalam kelompok atau ini menjelaskan bahwa perubahan sosial yang terjadi sangat cepat membuat sistem sosial dan nilai dalam masyarakat dianggap menjadi tidak seimbang. Pengaruh perubahan yang berlangsung secara cepat itulah yang kemudian dapat menyebabkan Teori Dinamika Kelompok ini merupakan Teori Kekerasan yang menjelaskan terjadinya kekerasan akibat perubahan-perubahan sosial yang sangat cepat dalam kelompok menyimak uraian mengenai Teori Kekerasan, kita dapat memahami bahwa kekerasan yang terjadi dalam lingkungan sosial dapat terjadi karena berbagai itu, kita juga dapat memahami teori yang paling tepat untuk mengkaji kekerasan berdasarkan faktor uraian tentang Teori Kekerasan kali ini. Selamat lanjut membaca artikel lainnya di kanal Sejarah dan Sosial. AA
\n\n \nberdasarkan teori lingkungan sosial kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila
YSvjMp4.
  • s0hiaujkb6.pages.dev/300
  • s0hiaujkb6.pages.dev/294
  • s0hiaujkb6.pages.dev/226
  • s0hiaujkb6.pages.dev/46
  • s0hiaujkb6.pages.dev/153
  • s0hiaujkb6.pages.dev/57
  • s0hiaujkb6.pages.dev/22
  • s0hiaujkb6.pages.dev/65
  • s0hiaujkb6.pages.dev/103
  • berdasarkan teori lingkungan sosial kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila